^_^

Markaz Pelangi.blogspot.com - Supported By Ummu Sakha - copyright © 2009

Sunday, 1 January 2012

Teguran dari Allah

Tanggal 24 desember lalu, di Paud-nya Maisha ada acara Pentas seni untuk melatih anak-anak secara motorik dan untuk berani mengekspresikan diri di depan umum. setiap anak akan tampil ke depan dalam bentik tarian, nyanyi ataupun praktek sholat dan do'a-doa harian. Termasuk Maisha, putri sulungku. Sudah sebulan ia latihan, ya walaupun awal-awalnya ogah-ogahan tapi aku selalu mensupport dan membujuk dia supaya mau latihan menari. Entah kenapa aku juga ikut-ikutan antusias dalam acara ini.mungkin aku beranggapan supaya maisha nantinya juga akan berani mengekspresikan diri, tampil ke depan. Dan setiap orang tua pasti bangga anaknya berani tampil ke depan. Sebenarnya Maisha anak yang aktif dan energik, tapi agak sulit diatur. dia harus punya alasan kuat untuk bisa melakukan suatu kegiatan, apalagi idenya bukan dari dia sendiri. Beberapa hari sebelum hari H, akudiberitahu oleh gurunya perihal kostum yang akan dipakainya nanti. BEliau mengatakan kalau nanti maisha akan mengenakan kostum atasan "TankTop", bawahan laging hitam, dipadu dengan rok ungu dan asesorisnya nanti dari pihak Paud. Aku sedikit terhenyak kaget. "Haah, tanktop"tanya dalam hatiku?.Tapi aku ga bisa proter ke BKB karena pada saat penentuan kostum aku ga datang karena ga aktif di BKB jd ga diundang rapat. Waduh gimana?batinku berejolak.Selama ini aku ga pernah memakaikan baju terbuka ke anak-anakku. Sekolah saja Maisha selalu pake jilbab, walaupun teman-temannya tidak pake jilbab, ini lagi malah pake tanktop. Pasti nanti Maisha merasa malu karena selama ini aku mengajarkannya rasa malu kalau tidak berpakaian lengkap dan tertutup. Tapi setelah itu aku berpikir, ahh...masih kecil ini, bisa dibujuk or diberi pengertian asalkan dia berani tampil kedepan karena selama ini dia angot-angotan latihannya.aku saja yang getol nyuruh dia latihan. Sampai-sampai aku bela-belain beliin dia tanktop (karena selama ini dia ga pernah dibeliin) buat manggung besok. Akhirnya Hari H pun tiba. MAisha aku bangunin pagi-pagi karena acaranya jam 8 pagi. Diapun masih bersemangat berangkat. Tapi ada satu yang mengganjal dan membuat hati kecilku sedih. Dia berangkat ke sekolah ga pake jilbab karena nanti pas pertama dia harus menyanyi pake seragam sekolah setelah itu pake kostum menarinya (tanktop). Sampai disana ternyata acaranya masih lama masih ada sambutan, marawis dan segala macam, sampai kira-kira jam setengah sepuluhan baru tampilan pertama dimulai. Maisha sudah mulai berulah. Nangis karena minta balon, lari kesanan kemari sampai minta pake jilbab adeknya yang biasa dia pake. Dia merengek "Mi, aku mau pake jilbab kucing yang dipake sama adek..". Mungkin karena sudah terbiasa pake jilbab kali ya jadi Maisha agak merasa risih kalau ga pake jilbab. Acara dia manggung sudah mulai dekat, gimana nih. Kalau dia pake jilbab nanti beda sendiri, trus sama gurunya boleh ga sih?akhirnya...ya udalah biar aja dia pake jilbab, toh ini juga acara internal walaupun diluar ruangan tapi kayaknuya ga jadi masalah. Singkatnya Maisha manggung dengan memakai jibab pas nyanyi. Alhamdulillah lancar n ga da masalah. walaupun nyanyinya agak terlihat terpaksa hehe...Setelah acara nyanyi selesai adabeberapa penampilan dari kelas A dab B. Setelah itu Maisha akan tampil lagi membawakan Tarian "Naik-naik ke puncak gunung-nya". Setelah turun segera maisha aku gantiin kostumnya, ternyata ada anak yang ga datang dan pas nyariin kostum roknya maoisha kok ga ada yang warna ungu.Aku agak panik lalu bertanya pada ibu-ibu yang anaknya jg menari yang sama . "Rok yang warna ungu dimanan ya bu?" "wah udah dipake semua". " Lho bukannya kemaren pas gladi resik udah diplot-plotin semua kok ga pas?harusnya kan yang ungu 6 yang pink 2"kataku sedikit panik. "tapi itu pas udah dipake semua ga ada yang pink" Lho kok bisa begitu, dalam hatiku. "wah ada yang ga beres nih" Masa Maisha pake pink sendiri kan nanti aneh konfigurasinya jadinya.apaligi dia di pinggir. Aduh gimana nih.ya udahlah gapapa yang penting dia mau nari. Peserta sudah siap didepan panggung n siap-siap naik. Ga ada waktu buat ngributin ini. Semua memang salahku kenapa nggak disiapin sendiri. Harusnya dari tadi udah aku pisahin tu kostum. Hmmm...aku menghela nafas. Karena aku pikir sudah ada yang bertanggung jawab masalah kostum jadi aku ga mau ikut campur takutnya nanti malah dikira bikin riweh n ga percaya sama BKB...ehh nggak taunya BKB jg mentingin akannya sendiri-sendiri. Ah ya udah ga usah nyalahin orang lain. Yang pentin Maisha mau tampil. Akhirnya Kelompok MAisha naik ke panggung yang kebetulan posisi konfigurasinya MAisha ada di pinggir dan deket banget dengan Sound System. Aku melihat wajah maisha sedikit murung, mungkin terimbas kepanikanku akibat salah kostum, jadinya di agak BETE gitu. Eh..Begitu Sound dinyalakan, sontak Maisha kaget dan menutup telinganya dan berteriak.."Berisiiiik..."Aku kaget.Lho...MAisha ngapain lagi nih?, batinku. Oh ya aku lupa .MAisha sangat peka pada keramaian, dan suara-suara gaduh. Suara sound di dekat telinganya terdengar sangat kencang walaupun musiknya sebenarnya berirama 'slow'. Dia tetap menutup telinganya dan ga mengikuti gerakan tarian seperti teman-temannya yang sudah mulai bergerak mengikuti irama. Suasana hatinya yang lagi ga enak semakin membuatnya STRESS. "Sudah Maisha ga papa tu lagunya dah mulai, atau Maisha pindah k belakang aja". Kataku membujuk dia dari belakang panggung. Akhirnya aku menyerah setelah Maisha tetap bersikeras menggeleng. "Ya sudah Maisha turun aja sini, ga usah usah nari gapapa kok", sambil menuntun kupeluk dia untuk menenangkannya. Beberapa menit kemudian, setelah tampilan kelompok menarinya selesai, mereka berfoto bersama. dan Maisha aku ajak foto bersama juga supaya tidak berkecil hati karena gagal manggung. Setelah itu aku langsung mengajaknya pulang tanpa menunggu selesai acaranya supaya ia lebih tenang dirumah. Dalam perjalanan aku tertegun dan sempat berfikir, "Mungkin ini adalah tamparan keras dari Allah, seolah Allah berkata: "Mana komitmenmu dalam mendidik anak. Selama ini anakmu kamu ajarkan untuk menutup aurat, rasa malu sekarang malah kamu sendiri yang menyuruh dia untuk membuka auratnya di depan orang banyak. Sampai anakmu sendiri yang yang merasa malu auratnya dilihat orang sedangkan kamu tidak!Hanya alih-alih pengen anaknya berani tampil aurat anaknya dikorbankan. Syariahnya ditanggalkan". "Astaghfirullah ".aku terhenyak. Mungkin Allah benar-benar ingin menegurku dengan cara seperti ini. Sebuah teguran yang keras dari Allah. Aku tergugu. Ya Allah ampunilah hambamu ini yang telah lalai menjaga amanah, yang tidak konsisten menjalankan syariahmu. bukannya malah meluruskan yang salah malah tercebur kepada kesalahan yang nyata. Mungkin bagi beberapa orang masalah ini sangat sepele, hanya anak kecil, tidak akan berdosa kalau terbuka auratnya. Tapi ini masalah pendidikan orang tua kepada anak. Dampaknya akan dirasakan seumur hidup akan diingat sepanjang hayatnya. Berhati-hatilah para orang tua. konsisten terhadap apa yang kalian ajarkan kepada anak. Dan konsisten terhadap dinul Islam . Insyaallah akan selamat dunia akhirat. Bahagia keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah. Wallahua'lam bishowwab.

Tazkiyatun Nafs-Muahadah, Mujahadah, Muraqabah, Muhasabah, dan Muaqabah

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al Hasyr : 18) Adalah menjadi kewajiban setiap orang merancang dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik. Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa seorang akan merugi kalau hari esoknya sama saja dengan hari ini, bahkan dia menjadi terkutuk jika hari ini lebih buruk dari kemarin. Seseorang baru dikatakan bahagia, jika hari esok itu lebih baik dari hari ini. Membangun hari esok yang baik, sesuai dengan ayat (wahyu Allah SWT) di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan di akhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berfikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah dengan taqwa. Semestinya orang Mukmin punya langkah antisipatif terhadap kemungkinan yang dapat terjadi esok disebabkan kelalaian hari ini. Seorang mukmin sudah dapat memprediksi dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik, dinamis, lebih mapan, lebih produktif dari pada hari ini. Simpulannya, mesti ada peningkatan prestasi dari hari ke hari. Hari esok dapat berarti masa depan dalam kehidupan pendek di dunia ini. Hari esok juga berarti pula hari esok yang hakiki, yang kekal abadi di akhirat kelak. Hari esok mesti dirancang harus lebih baik dari hari ini, dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan melaksanakan lima “M ” ; yaitu Mu’ahadah, Mujahadah, Muraqabah, Muhasabah, dan Mu’aqabah.[1] 1. Mu’ahadah Mu’ahadah adalah mengingat perjanjian dengan Allah SWT. Sebelum manusia lahir ke dunia, masih berada pada alam gaib, yaitu di alam arwah, Allah telah membuat “kontrak” tauhid dengan ruh. Kontrak tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam keadaan ruh belum berupa materi (badan jasmani). Karena itu, logis sekali jika manusia tidak pernah merasa membuat kontrak tauhid tersebut. Mu’ahadah konkritnya diikrarkan oleh manusia mukmin kepada Allah setelah kelahirannya ke dunia, berupa ikrar janji kepada Allah. Wujudnya terefleksi minimal 17 kali dalam sehari dan semalam, bagi yang menunaikan shalat wajib, sebagaimana tertera di dalam surat Al Fatihah ayat 5 yang berbunyi: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Artinya, engkau semata wahai Allah yang kami sembah, dan engkau semata pula tempat kami menyandarkan permohonan dan permintaan pertolongan. Ikrar janji ini mengandung ketinggian dan kemantapan aqidah. Mengakui tidak ada lain yang berhak disembah dan dimintai pertolongan, kecuali hanya Allah semata. Tidak ada satupun bentuk ibadah dan isti’anah (Permintaan Pertolongan) yang boleh dialamatkan kepada selain Allah SWT.[2] Mu’ahadah yang lain adalah ikrar manusia ketika mengucapkan kalimat “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya kuperuntukkan (ku-abdikan) bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam.” 2. Mujahadah Mujahadah berarti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan teguh berkarya amal shaleh, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT yang sekaligus menjadi amanat serta tujuan diciptakannya manusia. Dengan beribadah, manusia menjadikan dirinya ‘abdun (hamba) yang dituntut berbakti dan mengabdi kepada Ma’bud (Allah Maha Menjadikan) sebagai konsekuensi manusia sebagai hamba wajib berbakti (beribadah). Mujahadah adalah sarana menunjukkan ketaatan seorang hamba kepada Allah, sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara perintah Allah SWT kepada manusia adalah untuk selalu berdedikasi dan berkarya secara optimal. Hal ini dijelaskan di dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat: 5, “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa-apa yang telah kamu kerjakan.” Orang-orang yang selalu bermujahadah merealisasikan keimanannya dengan beribadah dan beramal shaleh dijanjikan akan mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk menuju (ridha) Allah SWT hidayah dan rusyda yang dijanjikan Allah diberikan kepada yang terus bermujahadah dengan istiqamah. Kecerdasan dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah SWT, tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda. Situasi batin dari orang-orang yang terus musyahadah (menyaksikan) keagungan Ilahi amat tenang. Sehingga tak ada kewajiban yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang dilanggar. Jiwa yang memiliki rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah sebenarnya yang disebut mujahidin ‘ala nafsini wa jawarihihi, yaitu orang yang selalu bersungguh dengan nuraninya dan gerakannya. Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa menghias lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah.” Imam Al Qusyairi an Naisaburi [3] mengomentari tentang mujahadah sebagai berikut: « Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar terhadap ketaatan. Manakala jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan kendali taqwa. Manakala jiwa bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan, wajib dilunakkan dengan menolak keinginan hawa nafsunya. Manakala jiwa bangkit memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar. Sesungguhnya bertahan dalam lapar (puasa) dan bangun malam di perempat malam (tahajjud), adalah sesuatu yang mudah. Sedangkan membina akhlak dan membersihkan jiwa dari sesuatu yang mengotorinya sangatlah sulit. » Mujahadah adalah suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa saja yang ingin kebersihan jiwa serta kematangan iman dan taqwa. وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد ِ * إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ * مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ “Dan sesunggunya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan adal di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Q.S. Qaaf: 16-18). 3. Muraqabah Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya. Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, « “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.” » Syeikh Abu Utsman Al Maghriby mengatakan, « “Abu Hafs mengatakan kepadaku, ‘manakala engkau duduk mengajar orang banyak jadilah seorang penasehat kepada hati dan jiwamu sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh ramainya orang berkumpul di sekelilingmu, sebab mungkin mereka hanya melihat wujud lahiriahmu, sedangkan Allah SWT memperhatikan wujud batinmu.” » Dalam setiap keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, serta nikmat yang harus disyukuri. Muraqabah adalah tidak berlepas diri dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT yang mesti dilaksanakan, dan larangan yang wajib dihindari. Muraqabah dapat membentuk mental dan kepribadian seseorang sehingga ia menjadi manusia yang jujur. « Berlaku jujurlah engkau dalam perkara sekecil apapun dan di manapun engkau berada. Kejujuran dan keikhlasan adalah dua hal yang harus engkau realisasikan dalam hidupmu. Ia akan bermanfaat bagi dirimu sendiri. Ikatlah ucapanmu, baik yang lahir maupun yang batin, karena malaikat senantiasa mengontrolmu. Allah SWT Maha Mengetahui segala hal di dalam batin. Seharusnya engkau malu kepada Allah SWT dalam setiap kesempatan dan seyogyanya hukum Allah SWT menjadi pegangan dlam keseharianmu. Jangan engkau turuti hawa nafsu dan bisikan syetan, jangan sekali-kali engkau berbuat riya’ dan nifaq. Tindakan itu adalah batil. Kalau engkau berbuat demikian maka engkau akan disiksa. Engkau berdusta, padalah Allah SWT mengetahui apa yang engkau rahasiakan. Bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang tersembunyi dan yang terang-terangan, semuanya sama. Bertaubatlah engkau kepada-Nya dan dekatkanlah diri kepada-Nya (Bertaqarrub) dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.” » [4] وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إلاَّ مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ اْلأَوْفَى وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى وَأَنَّهُ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu), dan bahwasanya DIA yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya DIA yang mematikan dan yang menghidupkan.” (QS. An-Najm: 39-44) 4. Muhasabah Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir. Dengan melakasanakan Muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan waktu dan jatah hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh perhitungan baik amal ibadah mahdhah maupun amal sholeh berkaitan kehidupan bermasyarakat. Allah SWT memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. melaksanakan shalat shubuh. Selesai salam, ia menoleh ke sebelah kanannya dengan sedih hati. Dia merenung di tempat duduknya hingga terbit matahari, dan berkata ; « “Demi Allah, aku telah melihat para sahabat (Nabi) Muhammad SAW. Dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah dengan bergantian (mengganti-ganti tempat) pijakan kaki dan jidat mereka apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar diterpa angin, mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).” » Muhasabah dapat dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiyah serta mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Berbicara tentang waktu, seorang ulama yang bernama Malik bin Nabi berkata ; « “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru, “Wahai anak cucu Adam, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.” » [5] Waktu terus berlalu, ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Allah SWT bersumpah dengan berbagai kata yang menunjuk pada waktu seperti Wa Al Lail (demi malam), Wa An Nahr (demi siang), dan lain-lain. Waktu adalah modal utama manusia. Apabila tidak dipergunakan dengan baik, waktu akan terus berlalu. Banyak sekali hadits Nabi SAW yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin. نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا َكثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَ الفَرَاغُ “Dua nikmat yang sering disia-siakan banyak orang: Kesehatan dan kesempatan (waktu luang).” (H.R. Bukhari melalui Ibnu Abbas r.a). 5. Mu’aqabah Muaqabah artinya pemberian sanksi terhadap diri sendiri. Apabila melakukan kesalahan atau sesuatu yang bersifat dosa maka ia segera menghapus dengan amal yang lebih utama meskipun terasa berat, seperti berinfaq dan sebagainya. Kesalahan maupun dosa adalah kesesatan. Oleh karena itu agar manusia tidak tersesat hendaklah manusia bertaubat kepada Allah, mengerjakan kebajikan sesuai dengan norma yang ditentukan untuk menuju ridha dan ampunan Allah. Berkubang dan hanyut dalam kesalahan adalah perbuatan yang melampaui batas dan wajib ditinggalkan. Di dalam ajaran Islam, orang baik adalah orang yang manakala berbuat salah, bersegera mengakui dirinya salah, kemudian bertaubat, dalam arti kembali ke jalan Allah dan berniat dan berupaya kuat untuk tidak akan pernah mengulanginya untuk kedua kalinya. Shadaqallahul’azhim. Allahu A’lamu Bissawab. Catatan kaki ; [1] Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’ [2] Demikian komentar Imam as Syaukani dalam kitab tafsirnya ‘Fathul Qadir’ dan Syeikh Ali As Shabuni dalam kitab tafsirnya ‘Shafwatut Tafaasir’. [3] Kitab tasawuf, “Risalatul Qusyairiyah”. [4] Syeikh Abdul Kadir Jailany memberikan nasehat kepada kita sebagaimana yang terdapat dalam kitabnya Al Fathu Arrabbaani wa Al Faidh Ar Rahmaani. [5] Malik bin Nabi dalam bukunya Syuruth An Nahdhah