Dikisahkan kembali dari kisah Thomas Amstrong
Syahdan ditengah-tengah hutan belantara Sumatra berdirilah sebuah sekolah untuk para binatang dengan status "disamakan dengan manusia". Sekolah ini dikepalai oleh seorang manusia. Karena sekolah tersebut berstatus "disamakan", tentusaja kurikulumnya juga harus mengikuti kurikulum yg sudah terstandarisasi dan telah ditetapkan oleh manusia.
Proses belajar mengajarpun akhirnya dimulai. Terlihat bahwa beberapa jenis binatang sangat unggul dalam mata pelajaran tertentu. Elang sangat unggul dalam pelajaran terbang. Dia memiliki kemampuan yang berada diatas binatang lainnya dalam hal melayang diudara, menukik, meliuk-liuk, menyambar hingga bertengger didahan sebuah pohon tertinggi.
Tupai sangat unggul dalam memanjat. Dia sangat pandai lincah, dan cekatan sekali dalam memanjat pohon serta berpindah dari satu dahan kedahan lainnya.
Sementara itu, bebek terlihat sangat unggul dan piawai dalam pelajaran berenang. Dengan gayanya yang khas, dia berhasil menyebrang dan mengitari kolam yang ada di dalam hutan tersebut.
Rusa adalah murud yang luar biasa dalam pelajaran berlari. Kecepatan larinya tak tertandingi oleh binatang lainnya yang bersekolah disana. Larinya tidak hanya cepat namun sangat indah untuk dilihat.
Lain lagi dengan katak, dia sangat unggul dalam pelajaran menyelam. Dengan gaya berenangnya yang khas, katak bisa masuk ke dalam air dan kembali muncul di seberang kolam dalam sekejap.
Begitulah pada mulanya murid-murid yang sangat unggul dan luar biasa pada mata pelajaran tertentu. Namun ternyata kurikulum telah mewajibkan bahwa mereka harus meraih angka minimal 8 pada semua mata pelajaran untuk bisa lulus dan mengantongi ijazah. Inilah awal dari semua kekacauan itu. Para binatang satu persatu mulai mempelajari mata pelajaran lain yang tidak dikuasai dan tidak disukainya.
Burung Elang mulai belajar cara memanjat dan berlari. Sayang sekali untuk pelajaran berenang, walaupun sudah berkali-kali dicoba tetap saja dia gagal. Bahkan suatu hari burung elang pernah pingsan kehabisan nafas saat pelajaran menyelam.
Tupaipun demikian. Dia berkali-kali jatuh dari dahan yg tinggi saat mencoba terbang. Alhasil, bukannya bisa terbang, tubuhnya malah penuh luka dan memar disana-sini.
Lain lagi dengan bebek, dia masih bisa mengikuti pelajaran berlari, walaupun sering ditertawakan karena lucu. Dia juga sedikit bisa terbang. Namun untuk pelajaran memanjat dia kelihatan hampir putus asa. Berkali-kali dicobanya dan berkali-kali juga dia terjatuh. Luka memar disana-sini dan bulu-bulunya mulai rontok satu demi satu..
Demikian juga dengan binatang lainnya. Meskipun semua telah berusaha dengan susah payah untuk enyedihkan adalah merekapun mulai kehilangan kemampuan aslinya setelah keluar dari sekolah. Mereka tidak bisa hidupdilingkungan mereka yang dulu. Ya...kemampuan alami mereka telah terpangkas habis oleh kurikulum sekolah tersebut. Satu demi satu binatang itu mulai mati kelaparan karena tidak bisa lagi mencari makan dengan kemampuan unggul yang pernah dimilikinya.
Tidakkah kita menyadari bahwa sistem persekolahan manusia yang ada saat ini pun tidak jauh berbeda dengan sistem persekolahan binatang dalam kisah ini. Kurikulum sekolah telah memaksa anak-anak kita untuk menguasai semua mata pelajaran dan melupakan kemampuan unggul mereka masing-masing. Kurikulum dan sistem persekolahan telah memangkas kemampuanalami anak-anak kitauntuk bisa berhasil dalam kehidupan menjadi anak yang hanya bisa menjawab soal-soal ujian.
(diambil dari buku : Rahasia ayah Edi memetakan potensi unggul anak)